Alkisah seorang pria bangsawan Spanyol yang telah tak muda lagi. Ia memiliki hobi membaca. Seringkali, Ia membaca buku seharian penuh. Buku-buku yang Ia baca hanyalah buku-buku roman ksatria abad pertengahan. Hobinya pada membaca itu, menghantar Ia pada delusi menjadi seorang ksatria. Berbekal baju besi dan pedang tua warisan nenek moyangnya, Ia memulai perjalanan suci bersama kuda kurusnya 'Rosinante’ dan merasa sebagai seorang ksatria sejati. Ia bertekad mengembara demi membela kebenaran dan keadilan bagi mereka yang tertindas. Ia adalah DON QUIXOTE DE LA MANCHA.
Setelah melewati beberapa petualangan, sang ksatria mengajak tetangganya yang miskin, Sancho Panza, untuk menjadi pengawalnya. Bersama pengawal setianya itu, Don Quixote berpetualang melawan musuh-musuh imajinernya. Tak ada raksasa, penyihir, atau musuh yang nyata. Tak ada juga kastil megah, tuan pemilik kastil, atau pun Dulcinea of Toboso (wanita pujaan Don Quixote yang dalam imajinasinya adalah wanita terhormat dan cantik). Sang ksatria mengembara menemui pertarungan demi pertarungan konyol yang tak pernah disangka-sangka oleh Sancho Panza. Don Quixote kehilangan akal sehatnya. Ia adalah pria yang malang. Ia bertarung melawan kincir angin, domba-domba, merampas loyang kuningan milik pemotong rambut yang ia pikir adalah Helm Mambrino, dan menantang singa jinak persembahan untuk seorang raja. Petualangan yang secara kasat mata ‘tak ksatria’.
James Baldwin pernah berkata atas Don Quixote, ’We may laugh at his adventures, We may excuse his faults, and We may learn wisdom from his experience.’ Benar saja, entah disadari atau tidak, Cervantes melekatkan pesan moral secara ksatria pada karyanya ini. Ia berjarak dari kesan menggurui, alih-alih menghibur, dan ketidakwarasan tingkah laku sang tokoh pun tak mampu membuat pembaca rela mencibir padanya. Novel saku bergambar ini adalah ikhtiar peringkasan karya asli Cervantes. Dibanding karya asli Cervantes, membaca novel saku ini terasa jauh lebih ringan. Konflik psikologis personal dan antar personal tak mampu terjamah disini. Namun demi memperluas obyek pengagum Don Quixote, mengingat kekagumanku pada karya asli nya, ku selesai menerjemahkan novel saku bergambar ini.
James Baldwin pernah berkata atas Don Quixote, ’We may laugh at his adventures, We may excuse his faults, and We may learn wisdom from his experience.’ Benar saja, entah disadari atau tidak, Cervantes melekatkan pesan moral secara ksatria pada karyanya ini. Ia berjarak dari kesan menggurui, alih-alih menghibur, dan ketidakwarasan tingkah laku sang tokoh pun tak mampu membuat pembaca rela mencibir padanya. Novel saku bergambar ini adalah ikhtiar peringkasan karya asli Cervantes. Dibanding karya asli Cervantes, membaca novel saku ini terasa jauh lebih ringan. Konflik psikologis personal dan antar personal tak mampu terjamah disini. Namun demi memperluas obyek pengagum Don Quixote, mengingat kekagumanku pada karya asli nya, ku selesai menerjemahkan novel saku bergambar ini.



