Badik Titipan Ayah, satu dari Sinema 20 Wajah Indonesia SCTV yang tayang pada 2 Oktober 2010. FTV berlatar Bugis Makassar ini merupakan kolaborasi menarik antara sutradara (Dedi Setiadi), produser (Deddy Mizwar), dan pemain-pemain handal (Aspar Paturusi, Widyawati, Reza Rahadian, Tika Bravani, Guntara Hidayat, Ilham Anwar, dll).
Alkisah pemanggilan pulang Andi Aso (Reza Rahadian), mahasiswa semester akhir yang tengah sibuk dengan skripsinya, oleh kedua orang tuanya Karaeng Tiro (Aspar Paturusi) dan Karaeng Caya (Widyawati). Tertulis dalam surat, Aso diminta pulang perihal kawin lari (silariang) Andi Tenri (Tika Bravani) dan Firman (Guntara Hidayat), yang tak lain adalah satu-satunya adik perempuan kesayangannya dan sahabatnya. Kedekatan personal ketiganya, tergambar pada kilasan-kilasan lamunan Aso akan keceriaan masa kecil bersama Tenri dan Firman pada perjalanan pulangnya.
Tenri kesal menjumpai ikhtiarnya melembutkan hati sang ayah untuk merestui hubungannya dengan Firman tak kunjung berhasil. Tenri tak pernah mendapati penjelasan bahwasanya ada dendam di diri ayahnya pada ayah Firman (Karaeng Parapa) yang menuduhnya sebagai penipu. Ia tak pernah mendapati cerita pertengkaran dua sahabat (Karaeng Parapa dan Karaeng Tiro) dalam satu mobil, yang mengakibatkan kematian ayah Firman dan kebutaan ayahnya adalah penyebab tidak direstuinya jalinan kasihnya dengan Firman. Jalan terakhir yang ia pilih adalah hamil diluar nikah dan kawin lari (silariang).
Silariang adalah persoalan Siri’ (perbuatan yang sangat memalukan keluarga) bagi masyarakat Bugis. Keluarga perempuan yang melakukan Siri’ (Tumasiri’) berhak menuntut sang pria secara hukum adat, karena anggota keluarganya dibawa lari. Karaeng Tiro memanggil anak lelaki semata wayangnya untuk menyelesaikan masalah silariang-nya Tenri sesuai adat, juga membela kehormatan keluarga. Badik sang ayah pun berpindah tangan padanya.
Ditemani Limpo, anak angkat Karaeng Tiro, Aso mencari Tanre. Ketegangan perihal keteguhan hati Karaeng Tiro menjunjung tinggi adat, hingga tertekan dan menanggung malu perilaku anak perempuannya, serta kebimbangan Andi Aso dalam menerima Badik simbol persetujuan penyelesaian masalah secara adat atas adik dan sahabatnya, tergambar cukup lama di tengah cerita. Sementara kehadiran Candra, sahabat Aso di Kampus, tampak terlalu membebani cerita. Selain sebagai faktor ketiga yang akhirnya memberi celah terbongkarnya persembunyian Tanre, seharusnya dia bisa jadi faktor penguat informasi cerita perspektif Aso pada Tanre secara pribadi, diluar tekanan orang tuanya.
Klimaks cerita, Karaeng Tiro meninggal. Tanre datang bersama suami dan anaknya. Aso yang tengah sangat berduka, meluapkan emosi rasa bersalahnya pada kehadiran adik dan sahabatnya. Badik yang lama ia simpan dan menggelisahkannya pun ia arahkan ke tubuh Firman. Lupa diri, saat Tanre melindungi Firman, Aso tak peduli bila Badik itu harus melewati adiknya terlebih dahulu. Terlebih Lampo mengingatkan Aso pada prinsip adat: ‘Badik terhunus pantang disarungkan, sebelum menyelesaikan ‘tugas’nya menegakkan martabat keluarga.
Tak terduga, tangis dan seruan sang ibu menyerukan kembali kebimbangan Aso. Tak ia tarik Badik Titipan Ayah-nya itu, namun juga tak ia lanjutkan menghunus Badik itu ke tubuh adik dan sahabatnya. Semua seperti terhipnotis dalam lantunan kata demi kata sang ibu. Sang ibu yang tiba-tiba memberi perspektif berbeda, mengurai air mata dengan suara lantang tak sependapat bila harus mengubur sekaligus suami, anak, dan menantu dalam satu waktu. Tangis Karaeng Cayo seolah menggugah sisi pikir lain yang tak populer di masyarakatnya. Momen terindah, setelah sepanjang cerita dikemas dalam serba maskulin. Airmata dan dekonstruksi tegas Karaeng Cayo bagaikan hujan sehari di musim kemarau. Mengambil alih cucunya, Karaeng Cayo hendak mengajak anak-anaknya bersama menghadap ayahnya. Menghormatinya. Menyesali kesalahan bersama. Andi Aso melemparkan Badik-nya menjauhi Firman, lalu mendekap sahabatnya.
Meski menentang adat, Karaeng Cayo tak berniat menentang suaminya. Ia ingin tetap mengabdi dan menghormati Karaeng Tiro. Didampingi kedua anaknya, menantunya, dan cucu digendongannya, ia berjanji di hadapan jenazah suaminya, “Kami yang hidup ini..akan menjaga CINTA kepadamu..dan memanjatkan doa-doa kepadamu..”
Dengan cermat, tak ingin menyederhanakan masalah, BADIK TITIPAN AYAH ini dilengkapi dengan cerita bunuh dirinya LAMPA yang merasa tak mampu menyelesaikan amanah Karaeng Tiro, yang menghidupinya sejak kecil, di hadapan foto Karaeng Tiro. Seperti halnya Naga Bonar Jadi 2 dan Alangkah Lucunya (Negeri Ini), film Deddy Mizwar ini pun menyelipkan pesan harmonisasi pola pikir 'lama' dan 'baru' yang tanpa menganaktirikan satu diantara yang lain. Dengan tak ingin melepas kesadaran dalam memandang titik-titik krusial di keduanya, maka tetap saja, sepertinya Ia tengah mengejakan penonton filmnya satu pesan lagi bagi bangsa.