Bram namaku. Tidak seperti teman-teman sebayaku, aku tak yakin dengan dimana dan kapan aku dilahirkan. Ingatanku akan masa kecil ‘samar’. Saat teman-temanku berkisah tentang kebahagiaan sejarah hidup mereka yang terdokumentasikan dalam foto ataupun video, aku hanya terdiam dan tertegun. Aku kehabisan akal untuk mengimbangi pembicaraan. Kukerutkan dahi, berpikir keras mencoba mengingat-ingat. Sepertinya aku memang tidak memiliki kisah yang sama dengan mereka. Kebahagiaan masa kecil?! Sungguh, aku benar-benar kesulitan untuk mengingatnya. Blur!
Berdasarkan akte kelahiran yang pernah kubaca, kini aku telah berumur 17 tahun. Lagi-lagi, tidak seperti teman-temanku yang lain atau bahkan saudara kandungku sendiri, hari ulang tahunku terlewatkan begitu saja. Padaku, tidak ada kebahagiaan yang bersifat cuma-cuma. Kebahagiaan harus kutebus dengan ongkos psikologis yang setimpal. Bila seorang anak wajar untuk digambarkan sebagai makhluk dengan ketergantungan penuh pada orang tuanya, hal itu tidak berlaku bagiku. Aku harus membayar ‘ongkos’ repotnya kedua orang tuaku dengan mendengar dongengan sengit ibuku yang mengungkit-ungkit betapa sulitnya mendidik aku sejak kecil.
“Dasar anak gak tau terima kasih! Asal kamu tau aja ya, dulu tuh kamu itu jorok, rakus, nakalnya..aa bukan main! Pokoknya malu-maluin deh!” begitu Ibu sering bilang kalau ia sedang jengkel padaku.
Di rumah, aku mendapat tugas mencuci piring, gelas dan perabot dapur, serta memasak nasi. Tidak hanya itu, aku mendapat tugas tambahan menjadi duta ke luar rumah, baik untuk pergi ke warung, manggil tukang pijat atau sering juga belanja ke pasar. Tugas tambahan ini terkadang menjadi momok bagiku karena bisa datang sewaktu-waktu, bahkan saat aku sedang berkonsentrasi mengerjakan tugas sekolah, belajar, ataupun sedang tidak mood.
Kalau saja aku boleh memilih, sesungguhnya aku lebih memilih untuk mendapat tugas seperti yang diberikan kepada saudara perempuanku, yaitu merapikan rumah. Iya…sekedar merapikan rumah, tidak perlu bersih. Tugas utama yang diberikan padanya adalah belajar. Keberatan yang bukan disebabkan oleh banyaknya item pekerjaan, melainkan perlakuan berbeda yang membuat hatiku resah. Ku merasa diperlakukan berbeda. Apapun yang sudah kulakukan tidak pernah diapresiasi kedua orang tuaku. Yang kuingat hanyalah celaan dan makian.
“Bra…aam!”
“Kalo nyuci yang bersih dong! Pake’ sabun gak sih, koq masih berminyak begini?! Dicuci lagi sana!” Begitu ibu bilang sambil mengangkat dan mencium piring atau gelas yang telah kucuci. Seringkali ibu juga berkata begini padaku:
“Yang paling banyak makan dan minum, ya memang sepantasnya harus kerja paling giat. Sana masak nasi, abis itu masak air jangan lupa!”Pernyataan itu seringnya keluar saat aku sedang mengambil nasi, atau menuangkan air dari ceret. Hal itu membuat nafsu makanku memburuk.
Hari-hariku terasa melelahkan. Semua kulakukan dengan beban dan rasa takut kepada orang tua. Terasa berat, karena kukeberatan dengan perlakuan yang berbeda. Ku merasa tak pernah diberi pilihan selain menjadi lelaki penurut. Aku tak ingin protes sebab bapakku pernah bilang : “Ridhanya Allah itu adalah ridhanya orang tua, jadi kalau orang tua tidak ridha, maka Allah juga tidak ridha.”
Dia juga pernah bilang begini :
“…Bahkan untuk berkata ‘UFH..!’ pada ibu, akan dibalas dengan laknat Allah.”
Aku gak mau disebut sebagai anak yang tidak tahu balas budi, karena mereka telah repot membesarkan aku.
-----
Tujuh belas tahun sudah umurku. Aku tengah berusaha menjadi laki-laki. Aku jengah. Aku lelah dengan pola hidup yang telah kujalani. Aku adalah laki-laki. Ibu sering bilang begini kalau nilai raportku menurun :
“Dasar, kamu itu laki-laki harus punya sesuatu yang bisa dibanggakan! Anak laki-laki koq Bodoh ?! Ka..aamu tuh nanti jadi kepala rumah tangga, tugasmu nanti nyari duit. Mau dikasih makan apa anak-istrimu nanti, kalau kamu Bodoh kayak gini !”
Tujuh belas tahun sudah umurku dan aku adalah laki-laki. Aku menjadi laki-laki. Laki-laki harus punya “sesuatu” yang bisa dibanggakan. Sampai saat ini, yang kutahu, aku cukup lihai membuat komik. Diam-diam aku juga nge-band. Ya…Cuma itu saat ini yang bisa kujadikan pegangan. Kebetulan, semua itu adalah hal yang dianggap sebagai suatu hal yang sia-sia bagi kedua orang tuaku. Tapi, kupikir-pikir…nggak juga, buktinya kebanyakan teman bapak yang kaya, mengaku berprofesi sebagai seniman; baik itu pelukis ataupun penyanyi. Dan, banyak juga tokoh-tokoh yang bagiku hanif, berprofesi sebagai seniman. Iwan Fals contohnya.
Kunyanyikan syair Here I Go Again-nya 'Whitesnake' : “Here I go again on my own. Goin’ down the only road I’ve never known. Like a drifter I was born to walk alone. And I’ve made up my mind. I ain’t wasting no more time. I’m just another heart in need of rescue. Waiting on love’s sweet charity. And I’m gonna hold on for the best of my days”.
Saat kugundah dan jenuh, kilasan peristiwa masa lalu itu tampak paradoks bagiku. Aku tak ingin menjadi seorang anak laki-laki, yang dengan usia tujuh belas tahun tidak tahu pasti akan menjadi apa. Aku tak ingin menjadi seorang anak laki-laki yang tidak hanya tidak punya masa depan, namun juga dengan masa lalu yang ‘blur’. Terlebih, ku dituntut kedua orang tuaku untuk berpikir cerdas, karena ku harus menjadi imam bagi keluargaku nanti.
Aku merasa harus merubah cara hidupku. Bila aku stuck in a moment, dan mengikuti apa yang akan terjadi saat ini dan nanti dengan perasaan tidak terima, maka aku tidak bersyukur. Ketidakterimaan akan kehidupanku akan membelengguku. Aku merubah cara pandang hidupku. Aku merubah perilaku hidupku.
Kini, aku tetap tinggal di rumah orang tuaku dan berlaku seperti tinggal di rumah sendiri. Aku mencoba menikmati hari-hariku dengan melakukan apa yang kuingin lakukan. Aku tidak lagi mencuci piring di pagi hari sebelum berangkat sekolah, bila aku sedang malas bangun terlalu pagi. Aku melakukan tugas hanya bila aku memang ingin melakukannya. Aku tidak ingin terpaksa. Dan jangan sampai ada yang memaksa, karena aku akan marah besar.
Ya…aku mulai berani marah. Kemarahanku telah memecahkan kaca kamarku, menghancurkan pintu kamar dan seringkali membuat linu jemari tanganku disebabkan karena memar sehabis kutonjokkan pada dinding kamarku.
Aku tetap menggambar, tetap membaca komik, bermain musik dan bernyanyi. Ibu pernah marah besar. Ibu sangat marah dan kemudian mengeluarkan kalimat-kalimat pamungkas yang menyinggung perasaanku sebagai seorang laki-laki. Aku diam menahan marah. Kutarik nafas dalam-dalam untuk mengumpulkan energi yang terserap oleh omelan dan kemudian aku berteriak :
“D I…AAM !!” sembari menendang pintu kamar dan kemudian pergi menginap di rumah teman beberapa hari.
Sejak kejadian itu aku menjadi terbiasa bertindak kasar setiap kali ibuku juga bertindak kasar. Beberapa kali kejadian seperti itu berulang, dengan sedikit variasi disana sini, tentunya. Pada awalnya aku merasa kikuk, namun lama kelamaan menjadi terbiasa. Aku mulai terbiasa dengan muka sinis ibuku. Aku mulai terbiasa dengan obrolan kaku bapakku. Aku mulai terbiasa dengan kesendirianku. Aku mulai terbiasa dengan keterasinganku dengan orang-orang rumah.
Aku mulai terbiasa dengan segala perlakuan sinis orang-orang di sekitarku, hingga aku pun melakukan keseharianku dengan biasa-biasa saja. Kini aku mulai menikmati hidupku. Meski terkadang pertengkaran demi pertengkaran terjadi, ku juga sering membantu ibuku mencuci piring, memasak nasi ataupun air untuk orang-orang di rumah. Semua tugas itu kulakukan tanpa dikomandani dan dikomentari. Tanpa komentar lisan tepatnya, karena ibuku berkata-kata dengan lirikan matanya. Terserah apa artinya, yang terpenting bagiku, saat ini, tidak ada komentar negatif. Aku bosan dengan yang negatif-negatif. Tidak dikomentari saja cukup, tidak perlu dipuji.
Sampai saat ini aku masih menganggap benar jalanku. Aku merasa tidak ada yang salah dengan pilihanku dan aku menikmati hari-hariku. Aku sekedar ingin mencari sesuatu yang bisa dibanggakan, karena aku adalah laki-laki. Laki-laki harus mempunyai sesuatu yang bisa dibanggakan; sesuai dengan pesanan ibuku. Kehidupanku dengan kedua orang tuaku memang tidak harmonis, namun kini aku berdamai dengan diriku sendiri. Kelak, aku akan menjelaskan semuanya dengan kesuksesan yang kucapai dengan jalanku ini. Dan bila yang terjadi adalah ketidaksuksesan, maka anggap saja aku khilaf. Bila memang apa yang kulakukan adalah sebuah kesalahan, sebagai laki-laki, tentunya aku akan mengakui dan memperbaiki kesalahanku. Tolong dimaafkan saja.
-----
Yang pasti aku ketahui adalah
Terlalu banyak kelemahan,
Terlalu banyak kegagalan,
Terlalu banyak celah pada diri-diri,
Untuk dimaki,
Untuk disyukuri,
Untuk dimaklumi.
Bisa dimaklumi.
“…Sesungguhnya Rabbmu Maha Luas Ampunan (Nya)…” (QS. An-Najm : 32)
Contact! is all it takes To change your life to lose your place in time Contact! asleep or awake Coming around you may wake up to find Questions deep within your eyes No more then ever you realized
And then you sense a change Nothing feels a same All your dreams are strange Love comes walkin' in Some kind of alien Reach for the opening Then simply pulls a string
Another world Some other time You lay your sanity on the line Familiar faces Familiar sights Reach back remember with all your might Ohh there she stands in a silken gown Silver lights shining down
And then you sense a change Nothing feels a same All your dreams are strange Love comes walkin' in Some kind of alien Reach for the opening Then simply pulls a string Love comes walkin' in
Sleep and dream that's all I crave I travel far across the Milky Way To my master I become a slave Til' we meet again some other day Where silence speaks as loud as war And the earth returns to what it was before
And then you sense a change Nothing feels a same All your dreams are strange Love comes walkin' in Some kind of alien Reach for the opening Then simply pulls a string Love comes walkin' in